Minggu, 24 Juli 2011

Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani

Taman seluas 3,5 hektar di Jalan Belitung 1, Kota Bandung ini merupakan lahan hijau yang dijadikan tujuan wisata dan pendidikan. Taman ini terletak di Kelurahan Merdeka, Kecamatan Sumur Bandung.
Awalnya, taman ini berupa tanah rawa. Rawa itu kemudian dikeringkan dan dijadikan lapangan untuk kegiatan militer pada 1915-1919. Selanjutnya, tahun 1925 taman ini diberi nama Insulindepark dan telah memiliki 90 jenis tanaman keras dan bunga-bungaan pada 1935.
Nama Insulindepark diganti menjadi Taman Nusantara pada 28 April 1950 dan menjadi Taman Lalu Lintas pada 1 Maret 1958. Pada akhir 1965, nama Ade Irma Suryani ditambahkan pada nama taman. Ia merupakan putri Jenderal AH Nasution, korban peristiwa Gerakan 30 September PKI.
Pembangunan taman ini ditujukan sebagai wahana sosialisasi dan pendidikan tentang peraturan dan disiplin berlalu lintas bagi anak-anak. Di dalam taman ini terdapat rambu-rambu lalu lintas berikut penjelasannya. Suasana taman sengaja dibuat seperti layaknya lalu lintas sebenarnya. Nama-nama jalan yang ada, seperti Jalan Suprapto, Jalan Anggrek, dan Jalan Mawar, disertai dengan rambu-rambu.
Pada Mei 2007, sekitar 600 pohon yang terdiri dari pohon pelindung dan pohon produktif ditanam di taman ini untuk menambah sejuk suasana dan menambah ruang  terbuka hijau. Taman Lalu Lintas kini menjadi salah satu alternatif rekreasi murah meriah bagi keluarga, khususnya anak-anak. Jumlah pengunjung pada hari biasa rata-rata sekitar 500 orang dan mencapai 2.500 orang pada hari libur.

Stadion Siliwangi

Mungkin hanya sedikit warga Bandung yang tahu bahwa Stadion Siliwangi dahulu dibangun untuk memperingati peristiwa Bandung Lautan Api atau BLA pada 24 Maret 1946. Stadion yang menjadi kandang Persib Bandung ini didedikasikan kepada 200.000 warga Kota Bandung yang merelakan hartanya terbakar dalam peristiwa BLA.
Stadion Siliwangi dibangun delapan tahun setelah BLA, yakni tahun 1954, atas prakarsa Panglima Tentara dan Teritorium III Kolonel Infanteri AE Kawilarang. Pembangunan memakan waktu dua tahun. Stadion ini kemudian digunakan untuk pelatihan fisik tentara Divisi Siliwangi.
Pada 24 Maret 1956, stadion diresmikan oleh Panglima Kawilarang. Saat itu diadakan pertandingan sepak bola persahabatan antara Persib Bandung dan Persija Jakarta.
Stadion Siliwangi terletak di Jalan Lombok, Kelurahan Merdeka, Kecamatan Sumurbandung. Hingga kini stadion ini tetap berada di bawah naungan Kodam III/Siliwangi. Stadion Siliwangi bukan milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat ataupun Pemerintah Kota Bandung.
Pada 1976, Stadion Siliwangi yang berkapasitas 35.000 penonton ini direnovasi. Proyek ini dikerjakan PT. Propelat dengan melibatkan sekitar 300 pekerja. Pada 20 Mei 1976, bertepatan dengan HUT ke-30 Kodem III/Siliwangi, stadion ini diresmikan ulang oleh Mayjen TNI Himawan Sutanto, Panglima Kodam Siliwangi saat itu.

Pabrik Kina Bandung


Pabrik Kina Bandung atau Bandongsche Kinine Fabriek merupakan pabrik pengolah kina tertua di Indonesia. Pabrik ini terletak di Jalan Pajajaran, Kecamatan Cicendo. Pabrik bergaya arsitektur “art deco” ini dibangun tahun 1896 berdasarkan rancangan arsitek Gmelig Meijling AW.
Pembangunan pabrik ini tidak terlepas dari berkembangnya perkebunan kina di wilayah Jawa Barat pada akhir 1800-an. Adalah Franz Wilhelm Junghuhn, seorang dokter ahli botani, yang pertama kali mengembangkan bibit tanaman kina di Priangan.
Junghuhn menanam kina di Priangan setelah melakukan serangkaian perjalanan dan penelitian di Pulau Jawa pada 1837-1939. Dalam perjalanan itu, ia meneliti 45 daerah pegunungan dan membuat tipologi tumbuh-tumbuhan berdasarkan ketinggian daerah.
Salah satu hipotesisnya adalah tanaman kina dapat berkembang baik di wilayah Priangan. Demi membuktikan hipotesis itu, pada 1854 ia meminta Dr. Karl Justus Hasskarl untuk membawa bibit pohon kina varietas unggul dari Amerika Selatan. Bibit itu pertama kali ditanam di wilayah selatan Bandung dan Cianjur.
Berkrmbangnya perkebunan kina mendorong perkembangan Pabrik Kina Bandung. Tahun 1910-1915, areal pabrik diperluas. Sampai dengan tahun 1940-an, pabrik ini memasok hingga 90 persen kebutuhan bubuk kina (kinin) dunia.
Tahun 1958, pabrik ini diserahkan kepada Pemerintah Indonesia dan pengelolaannya dilebur bersama sejumlah perusahaan farmasi lain. Meski tidak lagi memproduksi kinin sebanyak dulu, hingga saat ini Pabrik Kina Bandung masih teris beroperasi di bawah kendali PT Kimia Farma.

Museum Mandala Wangsit Siliwangi

Museum Mandala Wangsit Siliwangi yang terletak di Jalan Lembong 38, Kota Bandung, merupakan tempat menyimpan koleksi benda-benda bernilai sejarah perjuangan Kodam Siliwangi bersama rakyat Jawa Barat dalam mempertahankan kemerdekaan. Museum ini diresmikan pertama kali oleh Pangdam III/Siliwangi ke-8, Kolonel Ibrahim Adjie, pada 23 Mei 1966.
Nama Mandala Wangsit berarti sebuah tempat untuk menyimpan amanat, petuah, atau nasihat dari pejuang masa lallu kepada generasi penerus melalui benda-benda yang ditinggalkannya.  Sementara nama Siliwangi diambil dari gelar Raja Kerajaan Pajajaran yang wilayah kekuasaannya terbentang dari Banten di ujung barat Pulau Jawa hingga Cirebon bagian timur. Menurut legenda, Siliwangi merupakan raja yang arif, berwibawa dan bijaksana.
Museum ini menempati bangunan tempat tinggal perwira militer Belanda yang dibangun tahun 1910-1915. Setelah kemerdekaan, bangunan diambil alih pasukan Siliwangi dan diigunakan sebagai markas militer tahun 1949-1950.
Markas militer ini pernah menjadi sasaran utama serangan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling. Dalam peristiwa tersebut 79 Prajurit TNI/Siliwangi gugur, termasuk di antaranya Mayor Adolf Lembong. Perwira yang gugur dalam pertempuran itu diabadikan menjadi nama jalan di depan museum itu.
Museum itu berdiri di atas tanah seluas 4.176 meter persegi dengan luas bangunan 1.674 meter persegi. Bangunan museum terkesan klasik dengan gaya arsitektur “late romanticism”.
Koleksi museum ini antara lain berupa lukisan diorama, senjata tradisional, seperti kujang, keris, pedang, golok, tombak, panah, pedang bambu, dan samurai. Selain itu, tersimpan berbagai senjata api, mebel, serta berbagai bendera dan lambang-lambang kesatuan Divisi Siliwangi. Di museum itu juga terdapat koleksi yang dipamerkan secara “outdoor”, seperti berbagai peralatan perang, tank, panser, dan kanon.

Gedung Balaikota Bandung







Gedung balaikota (“gemeente huis”) merupakan salah satu bangunan tertua di Kota Bandung. Sebelum gedung itu didirikan, pada lokasi itu terdapat gudang kopi (“koffie pakhuis”) milik Adries de Wilde (1781-1865), seorang tuan tanah dan Asisten Residen Priangan pada tahun 1812.
Gudang kopi itu dibangun tahun 1819 saat perkebunan kopi di Priangan berkembang pada abad ke-18. Gudang kopi itu merupakan satu dari delapan gedung tembok baru di Bandung. Tahun 1923, gudang itu diserahkan kepada Pemerintah kolonial Belanda.
Tahun 1927, gudang kopi dirobohkan. Sebagai gantinya, didirikan gedung balaikota yang dirancang oleh arsitek EH de Roo. Pendirian balaikota ini terkait dengan status Bandung sebagai kota praja sejak tahun 1906.
Bangunan berbentuk persegi panjang ini terletak tidak jauh dari Jalan Braga yang merupakan pusat kegiatan ekonomi masyarakat Kota Bandung masa itu. Sejumlah bangunan publik pendukung pun sudah lebih dulu didirikan di  sekitarnya, yakni Javasche Bank (1909), Katedral (1921), dan Gereja Bethel (1925).
Seiring dengan berkembangnya Kota Bandung, tahun 1935 balaikota diperluas dengan menambah bangunan baru di belakangnya. EH de Roo masih menjadi arsiteknya. Ia merancang gedung baru ini dengan gaya “art deco” sehingga berkesan lebih modern daripada gedung lama. Bangunan baru ini dibangun menghadap Pieter Sijthoffpark  yang kini bernama Taman Dewi Sartika. Bentuk atapnya yang tampak datar menyebabkan gedung ini pun disebut Gedung Papak.

Sabtu, 30 April 2011

Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan






 Gedung YPK


Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan atau YPK di Jalan Naripan, Bandung, merupakan saksi perjuangan pers nasional. Gedung ini semula bernama Villa Evangeline. Tahun 1904, gedung ini dipakai kantor badan hukum NV Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften “Medan Prijaji”.
Badan hukum yang didirikan RM Tirto Adhi Soerjo (1878-1918) itu menerbitkan surat kabar “Medan Prijaji”. Surat kabar berbahasa Melayu yang terbit pertama kali tahun 1907 itu awalnya berbentuk mingguan dan terbit di Bandung. Tiga tahun kemudian, surat kabar itu terbit tiap hari kecuali Jumat, Minggu, dan hari raya. Ketika menjadi harian, surat kabar itu diterbitkan di Jakarta (saat itu masih menjadi wilayah Jawa Barat).
Untuk mendirikan “Medan Prijaji” dibutuhkan dana 7.500 gulden. Tirto mendapatkan bantuan sebagai modal awal dari Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja (1861-1910) sebesar 1.000 gulden dan Sultan Bacan Maluku 500 gulden. Sisanya dari sekitar 1.000 pelanggan yang sebagian besar adalah priyayi. Surat kabar itu hanya bertahan lima tahun dan ditutup pada 1912 akibat kesulitan keuangan.
Dalam konteks nasionalisme, “Medan Prijaji” diakui sebagai tonggak perjuangan pers nasional. Beritanya memihak kepentingan pribumi dan kerap mengkritik kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Berkat perjuangannya itu, Tirto dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 10 November 2006.
Gedung YPK yang pernah menjadi kantor “Medan Prijaji” kini berfungsi sebagai gedung kesenian Sunda. Pada periode 1960-1990, sejumlah harian di Bandung pernah berkantor  di sini antara lain “Warta Bandung, “Harian Berdikari”, dan “Bandung Pos”.

Sumber : Kompas Jawa Barat
Kritik dan Saran hubungi : djawa.barat@gmail.com