Minggu, 24 Juli 2011

Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani

Taman seluas 3,5 hektar di Jalan Belitung 1, Kota Bandung ini merupakan lahan hijau yang dijadikan tujuan wisata dan pendidikan. Taman ini terletak di Kelurahan Merdeka, Kecamatan Sumur Bandung.
Awalnya, taman ini berupa tanah rawa. Rawa itu kemudian dikeringkan dan dijadikan lapangan untuk kegiatan militer pada 1915-1919. Selanjutnya, tahun 1925 taman ini diberi nama Insulindepark dan telah memiliki 90 jenis tanaman keras dan bunga-bungaan pada 1935.
Nama Insulindepark diganti menjadi Taman Nusantara pada 28 April 1950 dan menjadi Taman Lalu Lintas pada 1 Maret 1958. Pada akhir 1965, nama Ade Irma Suryani ditambahkan pada nama taman. Ia merupakan putri Jenderal AH Nasution, korban peristiwa Gerakan 30 September PKI.
Pembangunan taman ini ditujukan sebagai wahana sosialisasi dan pendidikan tentang peraturan dan disiplin berlalu lintas bagi anak-anak. Di dalam taman ini terdapat rambu-rambu lalu lintas berikut penjelasannya. Suasana taman sengaja dibuat seperti layaknya lalu lintas sebenarnya. Nama-nama jalan yang ada, seperti Jalan Suprapto, Jalan Anggrek, dan Jalan Mawar, disertai dengan rambu-rambu.
Pada Mei 2007, sekitar 600 pohon yang terdiri dari pohon pelindung dan pohon produktif ditanam di taman ini untuk menambah sejuk suasana dan menambah ruang  terbuka hijau. Taman Lalu Lintas kini menjadi salah satu alternatif rekreasi murah meriah bagi keluarga, khususnya anak-anak. Jumlah pengunjung pada hari biasa rata-rata sekitar 500 orang dan mencapai 2.500 orang pada hari libur.

Stadion Siliwangi

Mungkin hanya sedikit warga Bandung yang tahu bahwa Stadion Siliwangi dahulu dibangun untuk memperingati peristiwa Bandung Lautan Api atau BLA pada 24 Maret 1946. Stadion yang menjadi kandang Persib Bandung ini didedikasikan kepada 200.000 warga Kota Bandung yang merelakan hartanya terbakar dalam peristiwa BLA.
Stadion Siliwangi dibangun delapan tahun setelah BLA, yakni tahun 1954, atas prakarsa Panglima Tentara dan Teritorium III Kolonel Infanteri AE Kawilarang. Pembangunan memakan waktu dua tahun. Stadion ini kemudian digunakan untuk pelatihan fisik tentara Divisi Siliwangi.
Pada 24 Maret 1956, stadion diresmikan oleh Panglima Kawilarang. Saat itu diadakan pertandingan sepak bola persahabatan antara Persib Bandung dan Persija Jakarta.
Stadion Siliwangi terletak di Jalan Lombok, Kelurahan Merdeka, Kecamatan Sumurbandung. Hingga kini stadion ini tetap berada di bawah naungan Kodam III/Siliwangi. Stadion Siliwangi bukan milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat ataupun Pemerintah Kota Bandung.
Pada 1976, Stadion Siliwangi yang berkapasitas 35.000 penonton ini direnovasi. Proyek ini dikerjakan PT. Propelat dengan melibatkan sekitar 300 pekerja. Pada 20 Mei 1976, bertepatan dengan HUT ke-30 Kodem III/Siliwangi, stadion ini diresmikan ulang oleh Mayjen TNI Himawan Sutanto, Panglima Kodam Siliwangi saat itu.

Pabrik Kina Bandung


Pabrik Kina Bandung atau Bandongsche Kinine Fabriek merupakan pabrik pengolah kina tertua di Indonesia. Pabrik ini terletak di Jalan Pajajaran, Kecamatan Cicendo. Pabrik bergaya arsitektur “art deco” ini dibangun tahun 1896 berdasarkan rancangan arsitek Gmelig Meijling AW.
Pembangunan pabrik ini tidak terlepas dari berkembangnya perkebunan kina di wilayah Jawa Barat pada akhir 1800-an. Adalah Franz Wilhelm Junghuhn, seorang dokter ahli botani, yang pertama kali mengembangkan bibit tanaman kina di Priangan.
Junghuhn menanam kina di Priangan setelah melakukan serangkaian perjalanan dan penelitian di Pulau Jawa pada 1837-1939. Dalam perjalanan itu, ia meneliti 45 daerah pegunungan dan membuat tipologi tumbuh-tumbuhan berdasarkan ketinggian daerah.
Salah satu hipotesisnya adalah tanaman kina dapat berkembang baik di wilayah Priangan. Demi membuktikan hipotesis itu, pada 1854 ia meminta Dr. Karl Justus Hasskarl untuk membawa bibit pohon kina varietas unggul dari Amerika Selatan. Bibit itu pertama kali ditanam di wilayah selatan Bandung dan Cianjur.
Berkrmbangnya perkebunan kina mendorong perkembangan Pabrik Kina Bandung. Tahun 1910-1915, areal pabrik diperluas. Sampai dengan tahun 1940-an, pabrik ini memasok hingga 90 persen kebutuhan bubuk kina (kinin) dunia.
Tahun 1958, pabrik ini diserahkan kepada Pemerintah Indonesia dan pengelolaannya dilebur bersama sejumlah perusahaan farmasi lain. Meski tidak lagi memproduksi kinin sebanyak dulu, hingga saat ini Pabrik Kina Bandung masih teris beroperasi di bawah kendali PT Kimia Farma.

Museum Mandala Wangsit Siliwangi

Museum Mandala Wangsit Siliwangi yang terletak di Jalan Lembong 38, Kota Bandung, merupakan tempat menyimpan koleksi benda-benda bernilai sejarah perjuangan Kodam Siliwangi bersama rakyat Jawa Barat dalam mempertahankan kemerdekaan. Museum ini diresmikan pertama kali oleh Pangdam III/Siliwangi ke-8, Kolonel Ibrahim Adjie, pada 23 Mei 1966.
Nama Mandala Wangsit berarti sebuah tempat untuk menyimpan amanat, petuah, atau nasihat dari pejuang masa lallu kepada generasi penerus melalui benda-benda yang ditinggalkannya.  Sementara nama Siliwangi diambil dari gelar Raja Kerajaan Pajajaran yang wilayah kekuasaannya terbentang dari Banten di ujung barat Pulau Jawa hingga Cirebon bagian timur. Menurut legenda, Siliwangi merupakan raja yang arif, berwibawa dan bijaksana.
Museum ini menempati bangunan tempat tinggal perwira militer Belanda yang dibangun tahun 1910-1915. Setelah kemerdekaan, bangunan diambil alih pasukan Siliwangi dan diigunakan sebagai markas militer tahun 1949-1950.
Markas militer ini pernah menjadi sasaran utama serangan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling. Dalam peristiwa tersebut 79 Prajurit TNI/Siliwangi gugur, termasuk di antaranya Mayor Adolf Lembong. Perwira yang gugur dalam pertempuran itu diabadikan menjadi nama jalan di depan museum itu.
Museum itu berdiri di atas tanah seluas 4.176 meter persegi dengan luas bangunan 1.674 meter persegi. Bangunan museum terkesan klasik dengan gaya arsitektur “late romanticism”.
Koleksi museum ini antara lain berupa lukisan diorama, senjata tradisional, seperti kujang, keris, pedang, golok, tombak, panah, pedang bambu, dan samurai. Selain itu, tersimpan berbagai senjata api, mebel, serta berbagai bendera dan lambang-lambang kesatuan Divisi Siliwangi. Di museum itu juga terdapat koleksi yang dipamerkan secara “outdoor”, seperti berbagai peralatan perang, tank, panser, dan kanon.

Gedung Balaikota Bandung







Gedung balaikota (“gemeente huis”) merupakan salah satu bangunan tertua di Kota Bandung. Sebelum gedung itu didirikan, pada lokasi itu terdapat gudang kopi (“koffie pakhuis”) milik Adries de Wilde (1781-1865), seorang tuan tanah dan Asisten Residen Priangan pada tahun 1812.
Gudang kopi itu dibangun tahun 1819 saat perkebunan kopi di Priangan berkembang pada abad ke-18. Gudang kopi itu merupakan satu dari delapan gedung tembok baru di Bandung. Tahun 1923, gudang itu diserahkan kepada Pemerintah kolonial Belanda.
Tahun 1927, gudang kopi dirobohkan. Sebagai gantinya, didirikan gedung balaikota yang dirancang oleh arsitek EH de Roo. Pendirian balaikota ini terkait dengan status Bandung sebagai kota praja sejak tahun 1906.
Bangunan berbentuk persegi panjang ini terletak tidak jauh dari Jalan Braga yang merupakan pusat kegiatan ekonomi masyarakat Kota Bandung masa itu. Sejumlah bangunan publik pendukung pun sudah lebih dulu didirikan di  sekitarnya, yakni Javasche Bank (1909), Katedral (1921), dan Gereja Bethel (1925).
Seiring dengan berkembangnya Kota Bandung, tahun 1935 balaikota diperluas dengan menambah bangunan baru di belakangnya. EH de Roo masih menjadi arsiteknya. Ia merancang gedung baru ini dengan gaya “art deco” sehingga berkesan lebih modern daripada gedung lama. Bangunan baru ini dibangun menghadap Pieter Sijthoffpark  yang kini bernama Taman Dewi Sartika. Bentuk atapnya yang tampak datar menyebabkan gedung ini pun disebut Gedung Papak.

Sabtu, 30 April 2011

Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan






 Gedung YPK


Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan atau YPK di Jalan Naripan, Bandung, merupakan saksi perjuangan pers nasional. Gedung ini semula bernama Villa Evangeline. Tahun 1904, gedung ini dipakai kantor badan hukum NV Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften “Medan Prijaji”.
Badan hukum yang didirikan RM Tirto Adhi Soerjo (1878-1918) itu menerbitkan surat kabar “Medan Prijaji”. Surat kabar berbahasa Melayu yang terbit pertama kali tahun 1907 itu awalnya berbentuk mingguan dan terbit di Bandung. Tiga tahun kemudian, surat kabar itu terbit tiap hari kecuali Jumat, Minggu, dan hari raya. Ketika menjadi harian, surat kabar itu diterbitkan di Jakarta (saat itu masih menjadi wilayah Jawa Barat).
Untuk mendirikan “Medan Prijaji” dibutuhkan dana 7.500 gulden. Tirto mendapatkan bantuan sebagai modal awal dari Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja (1861-1910) sebesar 1.000 gulden dan Sultan Bacan Maluku 500 gulden. Sisanya dari sekitar 1.000 pelanggan yang sebagian besar adalah priyayi. Surat kabar itu hanya bertahan lima tahun dan ditutup pada 1912 akibat kesulitan keuangan.
Dalam konteks nasionalisme, “Medan Prijaji” diakui sebagai tonggak perjuangan pers nasional. Beritanya memihak kepentingan pribumi dan kerap mengkritik kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Berkat perjuangannya itu, Tirto dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 10 November 2006.
Gedung YPK yang pernah menjadi kantor “Medan Prijaji” kini berfungsi sebagai gedung kesenian Sunda. Pada periode 1960-1990, sejumlah harian di Bandung pernah berkantor  di sini antara lain “Warta Bandung, “Harian Berdikari”, dan “Bandung Pos”.

Sumber : Kompas Jawa Barat
Kritik dan Saran hubungi : djawa.barat@gmail.com 

Gedong Kembar Purwakarta


Gedong Kembar

Gedong Kembar adalah sebutan masyarakat bagi dua bangunan yang terletak di Jalan Kornel Singawinata, Kelurahan Nagri Kidul, Kecamatan Purwakarta. Disebut bangunan kembar karena bangunan ini memiliki bentuk yang sama dan terletak berdampingan, seperti pintu gerbang.
Kedua bangunan ini diperkirakan didirikan pada paruh kedua abad ke-19 setelah Purwakarta menjadi ibu kota Keresidenan Karawang tahun 1854. Bangunan yang bergaya arsitektur Eropa ini dibuat atas prakarsa pemerintah keresidenan.
Fungsi utama kedua bangunan ini pada masa Hindia Belanda belum diketahui pasti. Meski demikian, kedua bangunan ini diduga merupakan pintu gerbang ke arah stasiun kereta api.
Dalam arsitektur tata kota, bangunan kembar menjadi pintu gerbang sebuah lingkungan. Bangunan ini seolah-olah menjadi pengantar memasuki lingkungan selanjutnya dan berperan penting dalam satu kawasan untuk membedakan lingkungan luar dan dalam.
Pada awal abad ke-20, gedung sebelah utara merupakan Toko Sepatu Janam milik pengusaha China. Pada saat itu toko sepatu tersebut terbesar di Purwakarta. Sementara pada masa pendudukan Jepang, gedung sebelah selatan menjadi toko potret milik Jepang.
Saat revolusi kemerdekaan, gedung utara difungsikan sebagai Markas BKR. Selanjutnya, Gedong Kembar beberapa kali beralih fungsi, antara lain menjadi toko dan sekretariat koperasi. Tahun 1985-1987, gedung sebelah utara menjadi Kantor Kepolisian Sektor Kota Purwakarta. Gedong Kembar kini berfungsi sebagai kantor bersama beberapa organisasi wartawan dan masyarakat.

Sumber : Kompas Jawa Barat
Kritik dan saran hubungi : djawa.barat@gmail.com 

Jembatan Cirahong


 
Jembatan Cirahong, tampak samping kiri

Jembatan sepanjang 200 meter ini melintang di atas Sungai Citanduy, menghubungkan Kecamatan Ciamis dan Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya. Jembatan ini berfungsi ganda, di bagian atas merupakan jembatan kereta api, sementara di bagian bawah sebagai jalan raya.


Jembatan yang dibangun awal tahun 1900-an ini diprakarsai Bupati Ciamis RAA Kusumadiningrat (1839-1886). Bupati pertama di Tatar Sunda yang menguasai aksara Latin ini berhasil meyakinkan pemerintah Kolonial Belanda untuk membelokkan jalur kereta api melewati Ciamis. Dalam rencana awal, pembangunan jalur kereta api Bandung-Tasikmalaya-Yogyakarta pada tahun 1891 ini tidak mencantumkan Ciamis sebagai kota persinggahan.
Jalur kereta api itu berperan strategis sebagai jalur pemasaran hasil perkebunan Ciamis ke Bandung dan Batavia. Pada masa itu, Ciamis merupakan sentra perkebunan kelapa di Priangan. Selain itu, perkebunan kopi dan nila juga berkembang baik dengan beroperasinya pengusaha swasta, antara lain di daerah Lemah Neundeut, Bangkelung, Gunung Bitung, dan Sindangrasa.
Meski lebih dari seabad, kokohnya konstruksi jembatan yang melintang 80 meter di atas Sungai Citanduy ini masih terlihat. Lantainya terbuat dari kayu, sementara pilarnya terbuat dari baja.

 
Bagian dalam Jembatan Cirahong

 
Rel Kereta diatas Jembatan Cirahong

 
Jembatan Cirahong, saat kereta melintas

Sumber : Kompas Jawa Barat
Kritik dan saran hubungi : jawa.barat@gmail.com 

Gedung DENIS


Gedung DENIS (Bank Jabar Banten)


Gedung DENIS terletak di Jalan Braga 12-14, Kota Bandung. Gedung ini menjadi saksi bisu peristiwa heroik yang terjadi di Kota Bandung. Sehari setelah pengumuman kedaulatan Indonesia, yakni 18 Agustus 1945, terjadi insiden perobekan warna biru bendera Belanda di puncak gedung ini.
Perobekan yang dilakukan pemuda Indonesia bernama Mohammad Karmas dan Moeljono itu membuat bendera yang berkibar di gedung menjadi merah dan putih.
Peristiwa heroik tersebut menjadi salah satu rangkaian pengobar semangat kemerdekaan masyarakat Jabar yang puncaknya terjadi pada 24 Maret 1946, yakni peristiwa Bandung Lautan Api.
DENIS (De Erste Nederlandsche Indische Spaarkas) merupakan bank simpanan dan hipotek pertama yang didirikan Hindia Belanda. Bank ini melayani urusan penyelengggaan ekspor komoditas perkebunan dari wilayah Priangan.

Gedung DENIS tempo dulu

Gedung yang berfungsi sebagai kantor DENIS ini dibangun pada tahun 1935-1936 dengan gaya arsitektur art deco. Gedung ini dirancang oleh arsitek AF Aalbers dan Rijk de Wall. Struktur bangunan ini menggunakan material baja. Sementara bentuk plastis horizontal pada fasad bangunan merupakan ciri khas gedung ini.
Tahun 1960, pengelolaan gedung ini diambil alih Bank Pembangunan Jawa Barat (Bank Jabar). Pada 1997-2000, gedung ini direnovasi dengan melibatkan tenaga arsitek bangsa Indonesia dari Biro Arsitek Desain Nasional. Pembangunannya dilaksanakan oleh PT Pembangunan Perumahan (Persero) dengan biaya Rp 7 miliar.

Sumber : Kompas Jawa Barat
Kritik dan saran hubungi : djawa.barat@gmail.com 

Pemerintahan Darurat Provinsi Jawa Barat


Tahun 1947, Belanda melancarkan operasi militer di wilayah Jawa Barat untuk memeksakan berdirinya negara Pasundan. Untuk menghindari operasi itu, pemerintahan Jabar yang semula berpusat di Kota Bandung pun dipindahkan.
Kecamatan Culamega, Kabupaten Tasikmalaya, dipilih sebagai pusat pemerintahan darurat. Pada masa itu kecamatan ini bernama Kecamatan Bantarkalong. Lokasinya terletak 77 kilometer arah selatan dari Kota Tasikmalaya. Selama sekitar tujuh bulan, dari Agustus 1947 hingga Februari 1948 pemerintahan darurat Jabar berada di kecamatan ini. Kontur yang bergunung dan berhutan lebat agaknya menjadi pertimbangan utama sehingga lokasi ini cocok sebagai pusat pemerintahan pada masa perang gerilya.
Perpindahan ini tidak terlepas dari peran Gubernur Jabar Raden Tumenggung Aria Sewaka (1947-1952). Gubernur yang pernah menjabat sebagai Bupati Indramayu dan Cirebon ini memindahkan jajaran stafnya ke pedalaman demi mempertahankan jalannya pemerintahan Republik Indonesia di Jabar. Untuk mendukung pemerintahannya, ia bekerja sama dengan Kolonel Hidayat, komandan tentara di wilayah Tasikmalaya.
Selain di Culamega, pada 1947-1948 pusat pemerintahan juga sempat berjalan selama tiga bulan di Kecamatan Cipatujah. Dari wilayahyang tergolong  terpencil di Tasikmaalaya selatan ini pemerintahan sipil sekaligus komando perjuangan militer di Jabar dijalankan. Untuk memperingati peristiwa ini, Pemerintah Provinsi Jabar mendirikan sebuah monumen pada 1998 tidak jauh dari Kantor Kecamatan Culamega saat ini.

Sumber : Kompas Jawa Barat
Kritik dan saran hubungi : djawa.barat@gmail.com 

Museum Pos Indonesia

 Museum Pos Indonesia

 Museum Pos Indonesia terletak di Jalan Cilaki Nomor 73, Kota Bandung. Lokasinya berada di sayap timur Gedung Sate, pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Museum yang sudah ada sejak 1931 ini resmi dibuka untuk umum pada 27 September 1983. Museum ini terdiri dari tiga ruang pameran. Ruangan pertama ialah ruangan sejarah yang menampilkan benda-benda bersejarah terkait dengan perkembangan pos Indonesia dari sebelum kemerdekaan hingga sekarang

 Bagian dalam museum

Ruangan berikutnya adalah ruang filateli yang menyajikan benda-benda pos, antara lain sampul surat, prangko,dan benda-benda lain yang terkait dengan filateli. Terakhir ialah ruang yang menampilkan peralatan pos dari masa ke masa.
Di museum ini terdapat koleksi prangko dari 178 negara. Sebagian besar dipajang pada papan-papan kayu yang dilindungi kaca. Hingga Maret 2008, tercatat 114.984 prangko. Sebanyak 8.644 prangko di antaranya merupakan terbitan dalam negeri.
Prangko-prangko yang dikoleksi museum ini sudah sangat lama dan langka. Tak mengherankan, koleksi prangko di museum ini bernilai tinggi dan jika dijual harganya basa sampai miliaran rupiah.
Koleksi prangko pertama Indonesia juga disimpan di museum ini. Prangko berwarna merah anggur dengan gambar Raja Willem III dalam bingkai persegi itu diterbitkan Pemerintah Hindia Belanda pada 1 April 1864 dengan harga nominal 10 sen.
Di bagian kiri prangko pertama itu terdapat tulisan “Nederi” dan di bagian kanan tertulis “Indie”. Perangko yang dirancang JW Kaiser dari Amsterdam ini tidak berperforasi (tanpa gigi) dan dicetak sebanyak 2 juta lembar. Tahun 1997, jumlah pengunjung museum ini sebanyak 18.021 orang. Hampir separuhnya ialah siswa SD, sedangkan warga asing sebanyak 133 orang.

Sumber : Kompas Jawa Barat
Kritik dan saran hubungi : djawa.barat@gmail.com 

Gedung Indonesia Menggugat


 Gedung Indonesia Menggugat

Gedung yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan Nomor 5, Bandung, ini menyimpan sejarah pergerakan nasional. Di gedung yang dulu disebut Gedung Lanraad ini, Soekarno (presiden pertama RI) diadili atas tuduhan makar pada tahun 1930.
Soekarno diadili karena Pemerintah Hindia Belanda jengkel dengan aktivitas politiknya. Selama proses pengadilan, Soekarno ditahan di Penjara Banceuy dalam sel berukuran 1 m x 2 m. Dalam persidangan, Pengadilan Hindia Belanda menjatuhkan hukuman empat tahun dan Soekarno ditahan di Penjara Sukamiskin. Namun, hukumannya akhirnya dikurangi karena banyak protes dari berbagai kalangan.
Gedung yang menjadi saksi bisu perlawanan Soekarno pada pemerintah kolonial ini semula hanya rumah tinggal seorang Belanda pada 1909. Rumah tinggal tersebut sempat  hangus terbakar dan direnovasi pada 1917. Setelah direnovasi, gedung itu kemudian beralih fungsi menjadi Gedung Lanraad Bandoeng atau Pengadilan Negeri Bandung pada zaman kolonial.
Setelah masa kemerdekaan, gedung ini beralih fungsi menjadi Kantor PMI pada 1947-1949. Gedung ini pun sempat dijadikan sebagai Kantor Perjalanan dan Kas Otonom sebagai bagian dari Keuangan Sekretaris Provinsi Jawa Barat pada 1953-1970. Terakhir, pada 1970-2002, gedung itu menjadi Kantor Bidang Meteorologi Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Jabar.
Tahun 2003, gedung ini direnovasi oleh pemerintah. Status bangunan yang kini bernama Gedung Indonesia Menggugat ini adalah bangunan cagar budaya dan menjadi aset sejarah. Di bagian timur gedung ini terdapat ruangan berukuran 6 m x 8 m yang diisi meja hijau untuk hakim dan peserta sidang. Ruangan ini sebagai tanda presiden pertama RI pernah diadili di gedung ini. Beberapa ornamen dari kayu jati di ruangan ini masih asli, sama persis dengan ruang persidangan dulu.

Sumber : Kompas Jawa Barat
Kritik dan Saran hubungi : djawa.barat@gmail.com 

Sungai Cikapundung

Sungai Cikapundung, Dekat Jalan Asia Afrika

Sejarah dan perkembangan Kota Bandung tidak bisa lepas dari sungai ini. Pada zaman pemerintahan Bupati Wiranatakusumah II (1794-1829) yang dijuluki Dalem Kaum I, ibu kota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak (sekarang Dayeuhkolot) ke tepi Sungai Cikapundung.
 Sungai Cikapundung Tahun 1880

Tempat yang dipilih adalah lahan kosong berupa hutan di tepi barat Sungai Cikapundung, di tepi selatan Jalan Raya Pos yang dibangun Daendels (pusat Kota Bandung sekarang). Dengan demikian, cikal bakalbkota ini tidak jauh dari aliran sungai ini.
Sungai Cikapundung merupakan sungai terbesar yang melintasi Kota Bandung. Sungai sepanjang 28 kilometer ini di bagian hulu dan hilir masuk wilayah Kabupaten Bandung. Sementara yang melintasi Kota Bandung sepanjang 15 kilometer. 10,5 kilometer di antaranya berada di kawasan padat penduduk.

Cikapundung, melewati pemukiman padat
Hulu Sungai Cikapundung berada di kawasan Gunung Tangkubanparahu dan Gunung Bukit Tunggul, selanjutnya mengalir melalui Sungai Cigulung, Maribaya, hingga Curug Dago. Di bagian hulu itu kondisi airnya masih jernih karena terjaga keaslian hutan lindungnya.
Namun, saat aliran sungai masuk ke wilayah Kota Bandung, kondisi air justru sebaliknya. Air sungai keruh dan banyak sampah akibat aktivitas deretan permukiman padat di pinggir aliran sungai. Permukiman padat itu mulai terlihat dari Dago Pakar, Ciumbuleuit, hingga bagian hilirnya di Dayeuhkolot.

Cikapundung, Penuh sampah

Permukiman padat di sepanjang aliran sungai ini berdampak pada menurunnya kualitas air sungai. Padahal, sekitar 800 liter/detik air sungai diolah PDAM Kota Bandung untuk melayani kebutuhan air warga Bandung.

Sumber : Kompas Jawa Barat
Kritik dan saran hubungi : djawa.barat@gmail.com